Hanya berawal dari kumpul-kumpul barang kuno peninggalan Oma dan Opa, dan Tuker-tukeran barang koleksi sama teman. Sekarang malah lebih sering di cari temen-temen kolektor untuk membeli. Sekarang Saya mencoba menjual Uang Kuno(Kertas maupun Koin)dan barang antik koleksi secara online untuk para Kolektor yang sering cari info lewat internet. Saya berusaha memberikan info lewat blog ini semoga hasil koleksinya bisa jadi lengkap. Untuk harganya semoga bersahabat dan koleksi barang dengan kondisi terbaik sampai ke tangan anda. Sebagai kolektor muda, saya juga masih menerima saran dan dari sahabat Kolektor vintage semua..

Minggu, 15 Maret 2015

Sanering Menurut Wikipedia

Redonominasi Mata Uang :Rupiah dan Dampaknya terhadap Masyarakat, Perekonomian Indonesia Secara Umum dan Khususnya Pasar Modal Indonesia

Redonominasi mungkin merupakan istilah yang asing di kalangan masyarakat awam, tetapi tidak untuk kalangan ekonomi dan para pemikmat berita seputar ekonomi dan bisnis, tetapi masyarakat awam indonesia mungkin tidak asing dengan pemotongan nilai uang yang pernah terjadi di era awal kemerdekaan 1946 yang tidak berjalan lancar, tahun 1950 yang di kenal dengan era gunting  Sjafruddin yang di nilai berhasil oleh beberapa pakar ekonomi,  tahun 1959 yang di kenal dengan  politik pengebirian uang,dan tahun 1965 sebagai akibat kisruhnya kondisi politik Indonesia tetapi sebenarnya redonominasi berbeda dengan pemotongan nilai mata uang atau yang lebih dikenal dengan istilah sanering. Adanya pandangan berbeda dan bersifat ambigu yang beredar dimasyarakat mengenai perbedaan antara redenominasi rupiah dengan sanering rupiah. yang menjadikan sebagian masyarakat resah setelah mulai ada isu yang di lempar ke masyarat di tahun 2012 bahwa pemerintah akan melakukan program redonominasi, dan di tambah dengan pengalaman pahit yang dialami masyarakat sudah pernah mengalami situasi terburuk dalam sejarah ekonomi di era orde lama yaitu over inflasi dan berujung pada kebijakan paling tidak di inginkan yaitu pemotong nilai uang (sanering) untuk mencegah salah pengertian antara redenominasi dengan sanering, bank Indonesia wajib menjelaskan perbedaannya secara rinci antara Redenominasi Rupiah Dengan Sanering Rupiah, dan hal inilah yang menjadi PR besar Bank Indonesia sebagai bank sentral, seperti kata Pakar Ekonomi Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty pada Metrotvnews.com beliau mengatakan “Pemerintah harus memanfaatkan masa transisi dan sosialisasi redenominasi rupiah untuk mengubah pola pikir masyarakat terhadap nilai nominal uang yang sudah melekat selama ini dan Selama ini masyarakat terbiasa dengan nominal yang besar dan secarapsikologis terpaku pada nominal.”
1.       Pengertian Redenominasi dan Senering
Redenominasi diartikan berbeda – beda tetapi tetap pada satu sustabnsi laitu penyederhanaan mata uang tetapi tidak merubah nilai tukarnya , seperti menurut wikipedia redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya.[1]dan redenominasi menurut joko salim adalah pemotongan nilai nominal sebuah mata uang tanpa mengurangi nilainya, sedangkan menurut sumber lain Redenominasi Rupiah adalah menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Misal Rp 1.000 menjadi Rp 1.Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.
Sanering Rupiah adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun. Dan menurut sumber lainnya anering adalah pemotongan nilai mata uang sekaligus nilai tukarnya. Artinya, pemotongan nilai mata uang yang dilakukan akan mempengaruhi daya beli penggunanya. Misalnya, jika Anda biasa membeli 1 kg telur dengan harga Rp1.000, maka setelah diberlakukannya sanering, katakanlah Rp1.000 menjadi Rp1, Anda tidak bisa lagi membeli 1 kg telur dengan Rp1 tadi karena nilai tukarnya sudah tidak sama lagi dengan Rp1.000
2.       Sejarah Redonomisasi dan Senering di Indonesia
a.     Era 1946
Upaya mengatur mata uang untuk pertama kalinya terjadi pada bulan Oktober 1946. Umur Indonesia waktu itu baru 1 tahun, wajar jika mata uang para penjajah masih wara-wiri dalam perekonomian Indonesia.  Gulden, mata uang NICA, saat itu masih berlaku sebagai alat tukar. Namun nilainya yang sedikit, membuat nilai Gulden semakin tinggi. Sedangkan mata uang Jepang, sebagai penjajah terakhir, saat itu beredar dalam jumlah yang sangat banyak. Akibatnya nilai mata uang Jepang sangat rendah. Sementara itu, masa-masa penjajahan Jepang membuat bangsa Indonesia tidak produktif. Supply barang sangat sedikit, sementara uang yang beredar sangat banyak. Kondisi itu adalah kondisi yang sangat sehat untuk menumbuhkan inflasi, inflasi melonjak luar biasa.  Karenanya kelebihan uang beredar dijadikan tersangka utama biang kerok inflasi. Satu-satunya jalan menyelesaikan inflasi adalah dengan mengatur kembali jumlah uang beredar. Caranya dengan mengganti uang NICA dan uang Jepang menjadi uang Indonesia. Uang tersebut adalah uang nasional pertama, yang dinamai Oeang Republik Indonesia (ORI).
b.     Era 1950
Sanering pertama agaknya tidak terlalu berhasil. Terbukti di tahun 1950 uang NICA dan dan uang De Javasche Bank  masih juga beredar, padahal sanering pertama telah berupaya untuk menarik semua uang ‘eks penjajah’ dengan ORI. Produksi barang di Indonesia pasca merdeka ternyata belum bisa meningkat secara signifikan.  Jumlah barang yang diproduksi masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Adapun teknologi pencetakan uang masih sangat sederhana, tak ayal aksi pencetakan uang palsu menjadi sangat marak. Akibatnya inflasi sangat tinggi dan tidak bisa dikendalikan.
Saat itu Menteri Keuangan Kabinet Hatta II adalah Sjafruddin Prawiranegara, dari Partai Masyumi. Sjafruddin menerapkan suatu kebijakan “gunting Sjafruddin”. Pada saat itu uang ORI disebut "uang putih" sedangkan uang uang NICA disebut "uang merah".  Tertanggal 10 Maret 1950, Sjafruddin ‘memerintahkan’ agar uang merah yang bernilai diatas Rp. 5,- digunting menjadi dua. Hanya bagian kiri dari guntingan tersebut yang berlaku sebagai nilai tukar. Itupun nilainya hanya setengah dari nilai sebelumnya. Aturan ini berlaku baik bagi uang yang beredar secara fisik, maupun uang yang berada dalam simpanan bank.  Sementara itu uang yang bagian kanan dapat ditukarkan ke bank sebagai obligasi negara dengan nilai setengahnya dari yang tercantum. Obligasi tersebut baru bisa diambil kembali 40 tahun mendatang dengan bunga sebesar 3 persen per tahun. Kebijakan ini adalah langkah dalam menyelesaikan masalah utang negara yang bertumpuk dan kas negara yang minim. Sjafruddin meneruskan semangat sanering pertama yaitu membuat mata uang nasional menjadi satu-satunya mata uang yang berlaku dalam perekonomian domestik Indonesia.
c.      Era 1959
Walaupun banyak pengamat ekonomi mengatakan kebijakan “gunting Sjafruddin” berhasil, namun sembilan tahun kemudian Indonesia kembali dihadapkan pada sanering berikutnya. Sanering ketiga terjadi tahun 1959, yang dikenal dengan nama "politik pengebirian uang". Istilah tersebut sangat tepat karena salah satu tujuannya adalah  untuk mengurangi jumlah peredaran uang terutama yang dimiliki oleh orang-orang kaya. Karena selain meredenominasi uang pecahan ‘besar’ pemerintah juga membekukan deposito  diatas Rp. 25.000,-
Bila melihat bentuknya, bisa dikatakan kebijakan tahun 1959 ini adalah redenominasi mata uang, karena hanya mengurangi 1 digit nol. Uang kertas bernilai Rp. 500,-  diubah menjadi Rp. 50,- dan Rp 1.000,- menjadi  Rp. 100. Sayangnya, kondisi ekonomi dan politik Indonesia saat itu sedang tidak sehat. Konsentrasi pemerintah terpecah antara penyelesaian masalah internasional, dan masalah konflik sosio –politik nasional.
d.     Era 1965
Melemahnya perekonomian Indonesia terus berlangsung hingga tahun 1965. Jika nilai tukar Rupiah pada tahun 1959 terhadap US$ adalah Rp. 45,-, maka pada tahun 1965 nilai tukar kita adalah Rp. 35.000. Angka yang fantastik!.
Pemerintah saat itu masih berkutat dengan masalah-masalah politik dalam dan luar negeri, sehingga penguatan pembangunan ekonomi menjadi terabaikan. Presiden Soekarno yang berkuasa sejak tahun 1945,  masih melakukan aksi-aksi politik luar negeri. Walau perjuangan merebut Irian Barat telah berhasil di tahun 1963, Soekarno masih sibuk berkonfrontasi dengan Malaysia.  Untuk memperkuat posisinya secara politik di dalam negeri Soekarno menggalang kekuatan dengan menggandeng TNI dan PKI. Sayangnya kepercayaan Soekarno pada PKI  dikhianati dengan pemberontakan yang dikenal sebagai G30SPKI.  
Kisruhnya  kondisi politik  dan makin terabaikannya ekonomi membuat negara berada dalam kondisi ‘terpuruk”. Akhir tahun 1965, tepatnya 19  Desember 1965, wakil perdana menteri III, Chairul Saleh  mencoba menyelesaikan masalah ekonomi dengan memberlakukan redenominasi. Uang senilai Rp. 1000,- ditukar dengan Rp.1,-.  Sayangnya kebijakan tersebut tidak didukung oleh perangkat ekonomi lainnya. Akibatnya di tahun 1966 inflasi meloncat sampai titik 650 persen. 
3.       Situasi, Kondisi dan Tujuan di lakukanya redonominasi dan sanering mata uang
Setiap keputusan yang diambil pemerintah pasti ada tujuannya, begitu pula dengan redonominasi dan sanering yang terkesan keputusan ektrim, tetapi pasti ada tujuan yang ingin dicapai
Redonominasi dan sanering adalah langkah lebih lanjut yang di terapkam oleh pemerintah untuk mengendalikan kondisi perekonomian, apalagi pada kondisi terburuk seperti over inflasi, tetapi redonominasi merupakah pilihan lebih bijak karena opsi ini lebih dapat diterima karena redonomisasi hakikatnya hanya pomotongan nilai nominal tidak pada nilai tukarnya, sedangkan pemotoan nilai tukar/daya beli melalui memotongan nominal uang terjadi pada sanering, hal ini lebih merugikan bagi pelaku ekonomi
Sanering menjadi pilihan pahit yang harus dilakukan pemerintahan suatu negara tatkala perekonomian negaranya mengalami kenaikan harga-harga secara eksesif (hiper inflasi) dan memiliki uang beredar yang berlebih. Oleh karena situasi yang dapat dikatakan genting ini, sanering biasanya dilakukan secara tiba-tiba tanpa adanya masa transisi terlebih dahulu. Hal inilah yang sekiranya pernah terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan Bung Karno.
Pada waktu terjadi inflasi, jumlah satuan moneter yang sama perlahan-lahan memiliki daya beli yang semakin melemah. Dengan kata lain, harga produk dan jasa harus dituliskan dengan jumlah yang lebih besar. Ketika angka-angka ini semakin membesar, mereka dapat memengaruhi transaksi harian karena risiko dan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh jumlah lembaran uang yang harus dibawa, atau karena psikologi manusia yang tidak efektif menangani perhitungan angka dalam jumlah besar. Pihak yang berwenang dapat memperkecil masalah ini dengan redenominasi: satuan yang baru menggantikan satuan yang lama dengan sejumlah angka tertentu dari satuan yang lama dikonversi menjadi 1 satuan yang baru. Jika alasan redenominasi adalah inflasi, maka rasio konversi dapat lebih besar dari 1, biasanya merupakan bilangan positif kelipatan 10, seperti 10, 100, 1.000, dan seterusnya. Prosedur ini dapat disebut sebagai "penghilangan nol"
Redenominasi dilakukan dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan penghematan anggaran pencetakan uang oleh pemerintan itupun dilakukan saat kondisi makro ekonomi stabil. Ekonomi tumbuh dan inflasi terkendali, tetapi hal ini guna menghindari krisis ekonomi yang muncul setelah redonominasi, karena berkaca dari beberapa Negara yang melakukan redonomonasi, dimana Negara itu terjadi inflasi pasca redonominasi. Sedangkan Sanering dilakukan dalam kondisi makro ekonomi tidak sehat, inflasi sangat tinggi (hiperinflasi).
Plus-Minus Redenominasi
Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari diterapkannya redenominasi di Indonesia, salah satunya ialah
1.      Terciptanya efisiensi dan kenyamanan dalam melakukan transaksi. Meskipun memang hal ini tidak sepenuhnya berlaku bagi semua kalangan, namun bagi para pelaku bisnis, ekonom, dan juga akuntan, hal ini akan sangat memudahkan mereka dalam bertransaksi dan mencatatkan keuangan. 
2.      Redenominasi pun dapat mengurangi hambatan dan kendala teknis berupa kemungkinan kesalahan manusia (human error) dalam proses pembukuan transaksi atau kegiatan statistik lainnya, yang mana semakin besar pecahan mata uangnya berarti semakin banyak jumlah digit yang digunakan, maka semakin besar pula resiko keteledoran seseorang dalam melakukan perhitungan.
3.      Selain itu, redenominasi juga dinilai dapat meningkatkan martabat bangsa. Dengan denominasi yang dimiliki seperti saat ini, rupiah dinilai kurang bergengsi jika dibandingkan mata uang negara regional lainnya seperti ringgit Malaysia, peso Filipina, dan baht Thailand. Maka, setelah dilakukannya redenominasi, diharapkan persepsi atau kepercayaan masyarakat terhadap rupiah dapat meningkat. Dengan demikian, rupiah dapat berfluktuasi dengan lebih stabil bahkan cenderung menguat di pasar uang antar bank. Sebagai informasi, pelemahan nilai tukar rupiah seringkali disebabkan oleh prilaku masyarakat yang lebih senang ‘memegang’ mata uang asing ketimbang rupiah dikarenakan tingkat kepercayaan pada rupiah yang rendah.
4.       Dampak kepada masyarakat
Pada redenominasi, tidak ada kerugian karena daya beli tetap sama.  Sedangkan Pada sanering, menimbulkan banyak kerugian karena daya beli turun drastis. Redenominasi merupakan peker­­ja­an sepele yang berdampak luar biasa. Tidak satu warga negara pun yang bisa membebaskan diri dari dampak redenominasi rupiah. Di pasar bahan pangan, harga akan mengalami rounding up. Har­­ga timun di pasar tradisional yang Rp 4.600 per kilo, akan menjadi Rp5 per kilo dalam mata uang baru. Pe­­­nurunan nilai riil sebesar 8%.Untuk mengatasi penurunan nilai riil rupiah baru, dalam draf Undang Un­­dang Re­­­de­­no­­mi­­nasi akan diatur ke­­wajiban  dual price tagging.  Se­­­tiap pe­­­dagang harus memasang dua har­­ga, dalam mata uang lama dan baru.Ketentuan itu lengkap dengan an­­caman hukum­an bagi yang ingkar. Un­­­tuk segmen pasar modern se­­­per­ti su­­­permarket, kewajiban itu tentu bi­­sa dilakukan dengan mudah. Namun, untuk pedagang di pasar tra­­­disional yang tidak pernah me­­masang price tag dan selalu terbuka peluang untuk tawar-menawar, ke­­tentuan seperti itu nyaris mustahil. Hal ini lah yng akan meresahkan masyarakat awal yang apabila kurang sosialisasi dan komitment kuat dari pemerintah, dan penekanan adanya perbendaan mendasar antara redonominasi dan sanering.
5.       Dampaknya kepada perekonomian Negara
Redenominasi merupakan peker­­ja­an sepele yang berdampak luar biasa. Tidak satu warga negara pun yang bisa membebaskan diri dari dampak redenominasi rupiah. Be­­ri­­kut beberapa ongkos yang harus di­­ba­­yar, Inflasi yang diakibatkan pembu­­lat­an ke atas (rounding off), terutama bahan pangan yang berharga mu­­­rah Kontrak kontrak bisnis yang ma­­sih berjalan yang dinyatakan dalam ni­­­lai rupiah harus di-review ulang. Rekonfigurasi perangkat lunak yang dipergunakan dalam bisnis dan akuntansi, seperti ransaksi on line perbankan.  Membutuhkan wak­­­tu cukup lama dan mahal. Pergantian uang kertas dan koin la­­­ma dengan uang kertas dan koin baru akan berjalan bertahun tahun ka­­­rena pengeluaran uang baru ha­­­rus diikuti dengan penarikan uang la­­­ma agar tidak terjadi inflasi. Selama periode itu, transaksi akan menggunakan dua satuan mata uang, dan tiap orang, boleh jadi, ha­­rus memiliki dua dompet. Repot dan tidak nyaman Sosialisasi juga harus intens kepada rekanan bisnis di luar negeri agar transaksi lintas Negara tidak ter­­­hambat. Dampak psikologis (money illusi­­on) dari penghasilan yang—no­­minal­nya—lebih rendah.  
6.       Dampaknya kepada pasar modal
Mari kita bayangkan dampak yang dihadapi segmen ini: Bursa Efek Indonesia. Yang merupakan pasar modal di Indonesia sebagai pelaku bisnis di bursa di bursa efektif pandangan orang akan berbeda – beda mengenai dampak redonominasi dan sanering, bagi yang optimis mungkin mereka menganggap kebijakan ini tidak berdampak apapun, tapi bagi mereka yang  pesimis maka mungkin mereka akan membayangkan akan beberapa hal. Kalau pada bahan pokok akan terjadi rounding up, maka sa­­ham saham penny stocks, akan mengalami rounding down.
Ambil contoh saham Bakri De­­ve­­lop­­ment (ELTY) yang saat ini harga­nya Rp53. Besar kemungkinan sa­­ham tersebut akan dibulatkan ke ba­­­wah menjadi 5 sen rupiah. Turun 6%! Saham saham penny stocks itu, fraksi harganya Rp1,- (baca satu ru­­piah!). Dengan uang baru harus di­­tu­­­lis 0,1 sen rupiah. Siapa bilang de­­ngan kuotasi demikian transaksi akan lebih lancar? Bursa Efek adalah pasar. Anggota Bursa adalah pedagang. Lalu mereka wajib memenuhi ke­­­tentuan dual price tagging. Per­­ta­­nya­­an saya: Mungkinkah dual price itu di­­aplikasikan dalam sebuah sistem trans­­aksi?
Sebagai orang yang gagap tek­­no­­lo­­gi, saya berani memastikan jawa­­ban­nya tidak! Kalau dual price tagging itu diaplikasikan dalam dua sis­­tim terpisah, pasar akan men­­­jadi fragmented dan fungsi bursa sebagai organized market menjadi hilang. Pada suatu saat mungkin terjadi dua harga untuk sa­­­ham yang sama. Semua perusahaan publik harus mengubah anggaran dasarnya, kare­­­na modal dasar, modal disetor, dan nilai nominal harus diganti dengan sa­­­tuan rupiah yang baru. Contoh ini de­­­ngan mudah bisa diperpanjang. Apakah orang di pasar modal tidak sem­­­pat memikirkannya?
7.       Kesimpulan
Di sisi lain, meskipun dikatakan memiliki banyak keuntungan, redenominasi sebetulnya berpotensi memicu terjadinya inflasi tinggi. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan pembulatan harga-harga ke atas yang dilakukan para pelaku pasar untuk kepentingan pribadi. Pembulatan harga suatu barang ke atas tentu akan mengakibatkan harga barang lainnya ikut melambung.
Perlu diingat, jika redenominasi jadi diterapkan sesuai yang diwacanakan (menghilangkan tiga angka nol) maka akan ada pecahan mata uang di bawah rupiah yang disebut sen yaitu 5 sen (dari Rp500), 2 sen (dari Rp200), dan 1 sen (dari Rp100). Pecahan sen ini tentu akan menjadi kerumitan tersendiri yang memungkinkan adanya spekulan (rent seeker) di tengah kepanikan pasar yang terjadi. Dan bukan tidak mungkin, dengan pemahaman yang tidak berimbang (imperfect foresight), masyarakat akan terpengaruh isu yang menjadikan rasionalitas mereka berkurang dan menganggap pecahan sen yang ada tidak berharga. Informasi yang tidak sempurna (asymmetric information) akan membuat resiko terjadinya hal-hal tersebut semakin besar dan akan berujung pada tidak kondusifnya perekonomian dan juga inflasi yang tinggi.
Untuk itu, mutlak diperlukannya sosialisasi yang panjang, berkualitas, dan juga intensif dari Pemerintah dan BI selaku otoritas moneter sampai masyarakat benar-benar memahami dan terbiasa dengan pecahan mata uang yang baru. Unsur-unsur lain di luar ekonomi seperti sosial, politik, dan psikologis (sospolgis) menjadi pertimbangan lain yang perlu diselaraskan. Jangan sampai Indonesia bernasib sama seperti Brazil, Rusia, Korea Utara, dan Zimbabwe karena mengabaikan ketiga hal tersebut dalam menerapkan redenominasi.
Pada akhirnya, keuntungan dari redenominasi hanya akan bersifat semu jika tak diiringi fundamentalnya. Dan jika redenominasi merupakan suatu keniscayaan, seharusnya ini tidak menjadi suatu hal yang perlu diresahkan. Trauma masa lalu mungkin sulit untuk dihilangkan, namun janganlah sampai trauma tersebut mengaburkan rasionalitas kita dalam memahami bahwasanya redenominasi bukanlah sanering.


[1] Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Redenominasi, diakses 11 June 2013