Redonominasi Mata Uang :Rupiah dan Dampaknya terhadap Masyarakat, Perekonomian Indonesia Secara Umum dan Khususnya Pasar Modal Indonesia
Redonominasi
mungkin merupakan istilah yang asing di kalangan masyarakat awam, tetapi tidak
untuk kalangan ekonomi dan para pemikmat berita seputar ekonomi dan bisnis, tetapi
masyarakat awam indonesia mungkin tidak asing dengan pemotongan nilai uang yang
pernah terjadi di era awal kemerdekaan 1946 yang tidak berjalan lancar, tahun
1950 yang di kenal dengan era gunting Sjafruddin yang di nilai berhasil
oleh beberapa pakar ekonomi, tahun 1959
yang di kenal dengan politik pengebirian
uang,dan tahun 1965 sebagai akibat kisruhnya kondisi politik Indonesia tetapi
sebenarnya redonominasi berbeda dengan pemotongan nilai mata uang atau yang
lebih dikenal dengan istilah sanering. Adanya pandangan berbeda dan bersifat
ambigu yang beredar dimasyarakat mengenai perbedaan antara redenominasi rupiah
dengan sanering rupiah. yang menjadikan sebagian masyarakat resah setelah mulai
ada isu yang di lempar ke masyarat di tahun 2012 bahwa pemerintah akan
melakukan program redonominasi, dan di tambah dengan pengalaman pahit yang
dialami masyarakat sudah pernah mengalami situasi terburuk dalam sejarah
ekonomi di era orde lama yaitu over inflasi dan berujung pada kebijakan paling tidak
di inginkan yaitu pemotong nilai uang (sanering) untuk mencegah salah
pengertian antara redenominasi dengan sanering, bank Indonesia wajib
menjelaskan perbedaannya secara rinci antara Redenominasi Rupiah Dengan Sanering
Rupiah, dan hal inilah yang menjadi PR besar Bank Indonesia sebagai bank
sentral, seperti kata Pakar Ekonomi Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty
pada Metrotvnews.com beliau mengatakan “Pemerintah harus
memanfaatkan masa transisi dan sosialisasi redenominasi rupiah untuk mengubah
pola pikir masyarakat terhadap nilai nominal uang yang sudah melekat selama ini
dan Selama ini masyarakat terbiasa dengan nominal yang besar dan
secarapsikologis terpaku pada nominal.”
1. Pengertian Redenominasi dan Senering
Redenominasi
diartikan berbeda – beda tetapi tetap pada satu sustabnsi laitu penyederhanaan
mata uang tetapi tidak merubah nilai tukarnya , seperti menurut wikipedia redenominasi
adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai
tukarnya.[1]dan
redenominasi menurut joko salim adalah pemotongan nilai
nominal sebuah mata uang tanpa mengurangi nilainya, sedangkan menurut sumber
lain Redenominasi Rupiah adalah menyederhanakan
denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara
mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Misal
Rp 1.000 menjadi Rp 1.Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada
harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.
Sanering
Rupiah adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai
uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli
masyarakat menurun. Dan menurut sumber lainnya anering adalah pemotongan nilai
mata uang sekaligus nilai tukarnya. Artinya, pemotongan nilai mata uang yang
dilakukan akan mempengaruhi daya beli penggunanya. Misalnya, jika Anda biasa
membeli 1 kg telur dengan harga Rp1.000, maka setelah diberlakukannya sanering,
katakanlah Rp1.000 menjadi Rp1, Anda tidak bisa lagi membeli 1 kg telur dengan
Rp1 tadi karena nilai tukarnya sudah tidak sama lagi dengan Rp1.000
2. Sejarah Redonomisasi dan Senering di
Indonesia
a. Era 1946
Upaya mengatur mata uang untuk pertama kalinya terjadi pada bulan Oktober 1946. Umur Indonesia waktu itu baru 1 tahun, wajar jika mata uang para penjajah masih wara-wiri dalam perekonomian Indonesia. Gulden, mata uang NICA, saat itu masih berlaku sebagai alat tukar. Namun nilainya yang sedikit, membuat nilai Gulden semakin tinggi. Sedangkan mata uang Jepang, sebagai penjajah terakhir, saat itu beredar dalam jumlah yang sangat banyak. Akibatnya nilai mata uang Jepang sangat rendah. Sementara itu, masa-masa penjajahan Jepang membuat bangsa Indonesia tidak produktif. Supply barang sangat sedikit, sementara uang yang beredar sangat banyak. Kondisi itu adalah kondisi yang sangat sehat untuk menumbuhkan inflasi, inflasi melonjak luar biasa. Karenanya kelebihan uang beredar dijadikan tersangka utama biang kerok inflasi. Satu-satunya jalan menyelesaikan inflasi adalah dengan mengatur kembali jumlah uang beredar. Caranya dengan mengganti uang NICA dan uang Jepang menjadi uang Indonesia. Uang tersebut adalah uang nasional pertama, yang dinamai Oeang Republik Indonesia (ORI).
Upaya mengatur mata uang untuk pertama kalinya terjadi pada bulan Oktober 1946. Umur Indonesia waktu itu baru 1 tahun, wajar jika mata uang para penjajah masih wara-wiri dalam perekonomian Indonesia. Gulden, mata uang NICA, saat itu masih berlaku sebagai alat tukar. Namun nilainya yang sedikit, membuat nilai Gulden semakin tinggi. Sedangkan mata uang Jepang, sebagai penjajah terakhir, saat itu beredar dalam jumlah yang sangat banyak. Akibatnya nilai mata uang Jepang sangat rendah. Sementara itu, masa-masa penjajahan Jepang membuat bangsa Indonesia tidak produktif. Supply barang sangat sedikit, sementara uang yang beredar sangat banyak. Kondisi itu adalah kondisi yang sangat sehat untuk menumbuhkan inflasi, inflasi melonjak luar biasa. Karenanya kelebihan uang beredar dijadikan tersangka utama biang kerok inflasi. Satu-satunya jalan menyelesaikan inflasi adalah dengan mengatur kembali jumlah uang beredar. Caranya dengan mengganti uang NICA dan uang Jepang menjadi uang Indonesia. Uang tersebut adalah uang nasional pertama, yang dinamai Oeang Republik Indonesia (ORI).
b. Era 1950
Sanering
pertama agaknya tidak terlalu berhasil. Terbukti di tahun 1950 uang NICA dan
dan uang De Javasche Bank masih juga beredar, padahal sanering pertama
telah berupaya untuk menarik semua uang ‘eks penjajah’ dengan ORI. Produksi
barang di Indonesia
pasca merdeka ternyata belum bisa meningkat secara signifikan. Jumlah
barang yang diproduksi masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk.
Adapun teknologi pencetakan uang masih sangat sederhana, tak ayal aksi
pencetakan uang palsu menjadi sangat marak. Akibatnya inflasi sangat tinggi dan
tidak bisa dikendalikan.
Saat
itu Menteri Keuangan Kabinet Hatta II adalah Sjafruddin Prawiranegara, dari Partai
Masyumi. Sjafruddin menerapkan suatu kebijakan “gunting Sjafruddin”. Pada saat
itu uang ORI disebut "uang putih" sedangkan uang uang NICA
disebut "uang merah". Tertanggal 10 Maret 1950, Sjafruddin
‘memerintahkan’ agar uang merah yang bernilai diatas Rp. 5,- digunting menjadi
dua. Hanya bagian kiri dari guntingan tersebut yang berlaku sebagai nilai
tukar. Itupun nilainya hanya setengah dari nilai sebelumnya. Aturan ini berlaku
baik bagi uang yang beredar secara fisik, maupun uang yang berada dalam simpanan
bank. Sementara itu uang yang bagian kanan dapat ditukarkan ke bank
sebagai obligasi negara dengan nilai setengahnya dari yang tercantum. Obligasi
tersebut baru bisa diambil kembali 40 tahun mendatang dengan bunga sebesar 3
persen per tahun. Kebijakan ini adalah langkah dalam menyelesaikan masalah
utang negara yang bertumpuk dan kas negara yang minim. Sjafruddin meneruskan
semangat sanering pertama yaitu membuat mata uang nasional menjadi satu-satunya
mata uang yang berlaku dalam perekonomian domestik Indonesia.
c. Era 1959
Walaupun
banyak pengamat ekonomi mengatakan kebijakan “gunting Sjafruddin” berhasil,
namun sembilan tahun kemudian Indonesia
kembali dihadapkan pada sanering berikutnya. Sanering ketiga terjadi tahun
1959, yang dikenal dengan nama "politik pengebirian uang".
Istilah tersebut sangat tepat karena salah satu tujuannya adalah
untuk mengurangi jumlah peredaran uang terutama yang dimiliki
oleh orang-orang kaya. Karena selain meredenominasi uang pecahan ‘besar’ pemerintah
juga membekukan deposito diatas Rp. 25.000,-
Bila
melihat bentuknya, bisa dikatakan kebijakan tahun 1959 ini adalah redenominasi
mata uang, karena hanya mengurangi 1 digit nol. Uang kertas bernilai
Rp. 500,- diubah menjadi Rp. 50,- dan Rp 1.000,- menjadi Rp.
100. Sayangnya, kondisi ekonomi dan politik Indonesia saat itu sedang tidak
sehat. Konsentrasi pemerintah terpecah antara penyelesaian masalah
internasional, dan masalah konflik sosio –politik nasional.
d. Era 1965
Melemahnya
perekonomian Indonesia
terus berlangsung hingga tahun 1965. Jika nilai tukar Rupiah pada tahun 1959
terhadap US$
adalah Rp. 45,-, maka pada tahun 1965 nilai tukar kita adalah Rp. 35.000. Angka
yang fantastik!.
Pemerintah
saat itu masih berkutat dengan masalah-masalah politik dalam dan luar negeri,
sehingga penguatan pembangunan ekonomi menjadi terabaikan. Presiden Soekarno
yang berkuasa sejak tahun 1945, masih melakukan aksi-aksi politik luar
negeri. Walau perjuangan merebut Irian Barat telah berhasil di tahun 1963,
Soekarno masih sibuk berkonfrontasi dengan Malaysia. Untuk memperkuat
posisinya secara politik di dalam negeri Soekarno menggalang kekuatan dengan
menggandeng TNI dan PKI. Sayangnya kepercayaan Soekarno pada PKI
dikhianati dengan pemberontakan yang dikenal sebagai G30SPKI.
Kisruhnya
kondisi politik dan makin terabaikannya ekonomi membuat negara berada
dalam kondisi ‘terpuruk”. Akhir tahun 1965, tepatnya 19 Desember 1965,
wakil perdana menteri III, Chairul Saleh mencoba menyelesaikan masalah
ekonomi dengan memberlakukan redenominasi. Uang senilai Rp. 1000,- ditukar
dengan Rp.1,-. Sayangnya kebijakan tersebut tidak didukung oleh perangkat
ekonomi lainnya. Akibatnya di tahun 1966 inflasi meloncat sampai titik 650
persen.
3. Situasi, Kondisi dan Tujuan di lakukanya
redonominasi dan sanering mata uang
Setiap keputusan yang diambil pemerintah pasti ada tujuannya, begitu pula
dengan redonominasi dan sanering yang terkesan keputusan ektrim, tetapi pasti
ada tujuan yang ingin dicapai
Redonominasi dan sanering adalah langkah lebih lanjut yang di terapkam
oleh pemerintah untuk mengendalikan kondisi perekonomian, apalagi pada kondisi
terburuk seperti over inflasi, tetapi redonominasi merupakah pilihan lebih
bijak karena opsi ini lebih dapat diterima karena redonomisasi hakikatnya hanya
pomotongan nilai nominal tidak pada nilai tukarnya, sedangkan pemotoan nilai
tukar/daya beli melalui memotongan nominal uang terjadi pada sanering, hal ini
lebih merugikan bagi pelaku ekonomi
Sanering menjadi pilihan pahit yang harus dilakukan pemerintahan suatu
negara tatkala perekonomian negaranya mengalami kenaikan harga-harga secara
eksesif (hiper inflasi) dan memiliki uang beredar yang berlebih. Oleh karena
situasi yang dapat dikatakan genting ini, sanering biasanya dilakukan secara
tiba-tiba tanpa adanya masa transisi terlebih dahulu. Hal inilah yang sekiranya
pernah terjadi di Indonesia
pada masa pemerintahan Bung Karno.
Pada waktu terjadi inflasi, jumlah satuan moneter yang sama perlahan-lahan
memiliki daya beli yang semakin
melemah. Dengan kata lain, harga produk dan jasa harus dituliskan dengan jumlah
yang lebih besar. Ketika angka-angka ini semakin membesar, mereka dapat
memengaruhi transaksi harian karena risiko dan ketidaknyamanan yang diakibatkan
oleh jumlah lembaran uang yang harus dibawa, atau karena psikologi
manusia yang tidak efektif menangani perhitungan angka dalam jumlah besar.
Pihak yang berwenang dapat memperkecil masalah ini dengan redenominasi: satuan
yang baru menggantikan satuan yang lama dengan sejumlah angka tertentu dari satuan
yang lama dikonversi menjadi 1 satuan yang baru. Jika alasan redenominasi
adalah inflasi, maka rasio konversi dapat lebih besar dari 1, biasanya
merupakan bilangan positif kelipatan
10, seperti 10, 100, 1.000, dan seterusnya. Prosedur ini dapat disebut sebagai
"penghilangan nol"
Redenominasi dilakukan dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
dan penghematan anggaran pencetakan uang oleh pemerintan itupun dilakukan saat
kondisi makro ekonomi stabil. Ekonomi tumbuh dan inflasi terkendali, tetapi hal
ini guna menghindari krisis ekonomi yang muncul setelah redonominasi, karena
berkaca dari beberapa Negara yang melakukan redonomonasi, dimana Negara itu
terjadi inflasi pasca redonominasi. Sedangkan Sanering dilakukan dalam kondisi
makro ekonomi tidak sehat, inflasi sangat tinggi (hiperinflasi).
Plus-Minus Redenominasi
Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari
diterapkannya redenominasi di Indonesia,
salah satunya ialah
1.
Terciptanya efisiensi dan kenyamanan dalam melakukan
transaksi. Meskipun memang hal ini tidak sepenuhnya berlaku bagi semua
kalangan, namun bagi para pelaku bisnis, ekonom, dan juga akuntan, hal ini akan
sangat memudahkan mereka dalam bertransaksi dan mencatatkan keuangan.
2.
Redenominasi pun dapat mengurangi hambatan dan kendala
teknis berupa kemungkinan kesalahan manusia (human error) dalam proses
pembukuan transaksi atau kegiatan statistik lainnya, yang mana semakin besar
pecahan mata uangnya berarti semakin banyak jumlah digit yang digunakan, maka
semakin besar pula resiko keteledoran seseorang dalam melakukan perhitungan.
3.
Selain itu, redenominasi juga dinilai dapat
meningkatkan martabat bangsa. Dengan denominasi yang dimiliki seperti saat ini,
rupiah dinilai kurang bergengsi jika dibandingkan mata uang negara regional
lainnya seperti ringgit Malaysia,
peso Filipina, dan baht Thailand.
Maka, setelah dilakukannya redenominasi, diharapkan persepsi atau kepercayaan
masyarakat terhadap rupiah dapat meningkat. Dengan demikian, rupiah dapat
berfluktuasi dengan lebih stabil bahkan cenderung menguat di pasar uang antar
bank. Sebagai informasi, pelemahan nilai tukar rupiah seringkali disebabkan oleh
prilaku masyarakat yang lebih senang ‘memegang’ mata uang asing ketimbang
rupiah dikarenakan tingkat kepercayaan pada rupiah yang rendah.
4. Dampak kepada masyarakat
Pada
redenominasi, tidak ada kerugian karena daya beli tetap sama. Sedangkan
Pada sanering, menimbulkan banyak kerugian karena daya beli turun drastis.
Redenominasi merupakan pekerjaan sepele yang berdampak luar biasa. Tidak
satu warga negara pun yang bisa membebaskan diri dari dampak redenominasi
rupiah. Di pasar bahan pangan, harga akan mengalami rounding up. Harga timun
di pasar tradisional yang Rp 4.600 per kilo, akan menjadi Rp5 per kilo dalam
mata uang baru. Penurunan nilai riil sebesar 8%.Untuk mengatasi penurunan
nilai riil rupiah baru, dalam draf Undang Undang Redenominasi akan
diatur kewajiban dual price tagging. Setiap pedagang harus
memasang dua harga, dalam mata uang lama dan baru.Ketentuan itu lengkap
dengan ancaman hukuman bagi yang ingkar. Untuk segmen pasar modern seperti
supermarket, kewajiban itu tentu bisa dilakukan dengan mudah. Namun, untuk
pedagang di pasar tradisional yang tidak pernah memasang price tag dan
selalu terbuka peluang untuk tawar-menawar, ketentuan seperti itu nyaris
mustahil. Hal ini lah yng akan meresahkan masyarakat awal yang apabila kurang
sosialisasi dan komitment kuat dari pemerintah, dan penekanan adanya perbendaan
mendasar antara redonominasi dan sanering.
5. Dampaknya kepada perekonomian Negara
Redenominasi
merupakan pekerjaan sepele yang berdampak luar biasa. Tidak satu warga
negara pun yang bisa membebaskan diri dari dampak redenominasi rupiah. Berikut
beberapa ongkos yang harus dibayar, Inflasi yang diakibatkan pembulatan
ke atas (rounding off), terutama bahan pangan yang berharga murah Kontrak
kontrak bisnis yang masih berjalan yang dinyatakan dalam nilai rupiah
harus di-review ulang. Rekonfigurasi perangkat lunak yang dipergunakan dalam
bisnis dan akuntansi, seperti ransaksi on line perbankan. Membutuhkan waktu
cukup lama dan mahal. Pergantian uang kertas dan koin lama dengan uang
kertas dan koin baru akan berjalan bertahun tahun karena pengeluaran uang
baru harus diikuti dengan penarikan uang lama agar tidak terjadi inflasi.
Selama periode itu, transaksi akan menggunakan dua satuan mata uang, dan tiap
orang, boleh jadi, harus memiliki dua dompet. Repot dan tidak nyaman Sosialisasi
juga harus intens kepada rekanan bisnis di luar negeri agar transaksi lintas
Negara tidak terhambat. Dampak psikologis (money illusion) dari
penghasilan yang—nominalnya—lebih rendah.
6. Dampaknya kepada pasar modal
Mari kita
bayangkan dampak yang dihadapi segmen ini: Bursa Efek Indonesia. Yang
merupakan pasar modal di Indonesia sebagai pelaku bisnis di bursa di bursa
efektif pandangan orang akan berbeda – beda mengenai dampak redonominasi dan
sanering, bagi yang optimis mungkin mereka menganggap kebijakan ini tidak
berdampak apapun, tapi bagi mereka yang
pesimis maka mungkin mereka akan membayangkan akan beberapa hal. Kalau pada
bahan pokok akan terjadi rounding up, maka saham saham penny stocks, akan
mengalami rounding down.
Ambil contoh
saham Bakri Development (ELTY) yang saat ini harganya Rp53. Besar
kemungkinan saham tersebut akan dibulatkan ke bawah menjadi 5 sen rupiah.
Turun 6%! Saham saham penny stocks itu, fraksi harganya Rp1,- (baca satu rupiah!).
Dengan uang baru harus ditulis 0,1 sen rupiah. Siapa bilang dengan
kuotasi demikian transaksi akan lebih lancar? Bursa Efek adalah pasar. Anggota
Bursa adalah pedagang. Lalu mereka wajib memenuhi ketentuan dual price
tagging. Pertanyaan saya: Mungkinkah dual price itu diaplikasikan dalam
sebuah sistem transaksi?
Sebagai
orang yang gagap teknologi, saya berani memastikan jawabannya tidak!
Kalau dual price tagging itu diaplikasikan dalam dua sistim terpisah, pasar
akan menjadi fragmented dan fungsi bursa sebagai organized market menjadi
hilang. Pada suatu saat mungkin terjadi dua harga untuk saham yang sama. Semua
perusahaan publik harus mengubah anggaran dasarnya, karena modal dasar,
modal disetor, dan nilai nominal harus diganti dengan satuan rupiah yang
baru. Contoh ini dengan mudah bisa diperpanjang. Apakah orang di pasar modal
tidak sempat memikirkannya?
7. Kesimpulan
Di sisi lain,
meskipun dikatakan memiliki banyak keuntungan, redenominasi sebetulnya
berpotensi memicu terjadinya inflasi tinggi. Hal ini dikarenakan adanya
kemungkinan pembulatan harga-harga ke atas yang dilakukan para pelaku pasar
untuk kepentingan pribadi. Pembulatan harga suatu barang ke atas tentu akan
mengakibatkan harga barang lainnya ikut melambung.
Perlu diingat,
jika redenominasi jadi diterapkan sesuai yang diwacanakan (menghilangkan tiga
angka nol) maka akan ada pecahan mata uang di bawah rupiah yang disebut sen
yaitu 5 sen (dari Rp500), 2 sen (dari Rp200), dan 1 sen (dari Rp100). Pecahan
sen ini tentu akan menjadi kerumitan tersendiri yang memungkinkan adanya
spekulan (rent seeker) di tengah kepanikan pasar yang terjadi. Dan
bukan tidak mungkin, dengan pemahaman yang tidak berimbang (imperfect
foresight), masyarakat akan terpengaruh isu yang menjadikan rasionalitas
mereka berkurang dan menganggap pecahan sen yang ada tidak berharga. Informasi
yang tidak sempurna (asymmetric information) akan membuat resiko
terjadinya hal-hal tersebut semakin besar dan akan berujung pada tidak
kondusifnya perekonomian dan juga inflasi yang tinggi.
Untuk itu,
mutlak diperlukannya sosialisasi yang panjang, berkualitas, dan juga intensif
dari Pemerintah dan BI selaku otoritas moneter sampai masyarakat benar-benar
memahami dan terbiasa dengan pecahan mata uang yang baru. Unsur-unsur lain di
luar ekonomi seperti sosial, politik, dan psikologis (sospolgis) menjadi
pertimbangan lain yang perlu diselaraskan. Jangan sampai Indonesia bernasib
sama seperti Brazil, Rusia, Korea Utara, dan Zimbabwe karena mengabaikan ketiga
hal tersebut dalam menerapkan redenominasi.
Pada akhirnya,
keuntungan dari redenominasi hanya akan bersifat semu jika tak diiringi
fundamentalnya. Dan jika redenominasi merupakan suatu keniscayaan, seharusnya
ini tidak menjadi suatu hal yang perlu diresahkan. Trauma masa lalu mungkin
sulit untuk dihilangkan, namun janganlah sampai trauma tersebut mengaburkan
rasionalitas kita dalam memahami bahwasanya redenominasi bukanlah sanering.